Categories
Cerpen

Sofa Biru dan Sepotong Ingatan

Sudah ratusan kali aku ke tempat ini. Selalu seperti ini, rak-rak kayu yang berjejer rapi, sofa biru empuk dan lantunan musik Jazz. Aku bisa mencium bau kertas yang lembut setiap masuk ke tempat ini, toko buku favoritku. Toko ini terletak di pinggiran kota, koleksinya lengkap, pelayannya adalah sahabat yang selalu tersenyum dan akan menawarkan teh hijau hangat kepada setiap langganannya. Toko ini tidak pernah ramai oleh pengunjung tapi mereka punya pelanggan setia yang selalu datang tiap minggu untuk membeli atau hanya bersantai bersama koleksi buku sambil menikmati keheningan yang ramah.
Aku hempaskan tubuhku di sofa biru yang di pojok, ini tempatku dan aku selalu di sini. Aku menyukai sofa ini karena mengingatkanku pada masa kecil. Masa kecil yang indah bersama majalah anak-anak kesayanganku. Pelayan menawarkan kopi dan teh (“seperti biasa, Siska!”). Aku tersenyum, dan dia mengerti maksudku: teh hijau hangat di cangkir bambu.  Aku ingin menikmati sore ini bersama buku tebal yang tidak akan pernah puas aku baca, Dunia Sophie. Musik Jazz berganti dengan suara lembut Egna.
Sore ini hanya ada beberapa pengunjung, sepasang suami-istri yang sedang berdebat memilih buku anak-anak, beberapa orang mahasiswa berkemeja putih yang sedang bersila di antara rak buku hukum dan akuntansi, dan seorang gadis bergaun biru muda, kira-kira berumur 20an. Aku tidak terlalu handal menebak umur tapi gadis ini masih muda dan keliatan sangat anggun, dengan kibasan rambut panjangnya. Dan aku menatapnya. Kulihat langkahnya yang begitu lembut, tatapannya terhadap kertas-kertas di rak-rak tersebut adalah tatapan cinta. Dia menyentuh pinggiran buku dengan hati-hati, seolah buku tersebut seperti bayi yang baru lahir, begitu lemah dan mempesona. Dia tersenyum dan tidak jarang tersipu malu setiap melintasi beberapa buku sastra klasik. Dan pada saat itu pandangannya teralih dan menoleh kepadaku, serentak semua senyumnya hilang. Aku terkejut.
Aku berusaha untuk tersenyum, namun tidak berhasil dengan baik. Hanya membuat bibirku tersinggung beberapa senti dengan cara yang aneh. Akhirnya aku hanya diam menatapnya, mata kami bertemu dan aku mengangguk sedikit. Ada sebuah dorongan untuk menyapanya, namun sebelum kata itu terucap dari lidahku, tiba-tiba tangannya terangkat, jari telunjuknya menempel di bibir merah jambu itu. Dia menyuruhku diam, bahkan sebelum aku sempat berkata apa-apa. Akupun diam dan dia mengangguk pelan, tersenyum dan melangkah keluar, berbelok dan hilang di ujung koridor.

Setelah kepergiannya, aku masih termenung di pojokan ini. Pikiranku melayang ke peristiwa beberapa detik yang lalu itu. Aku tidak mengenalnya, kenapa dia menyuruhku diam, kenapa dia pergi, semua pertanyaan serempak masuk ke pikiranku dan aku tidak tahu jawaban atas semua hal itu.
Siska datang membawakan teh hijauku. Aku terkejut dan dengan canggung aku menjatuhkan buku yang sedang aku baca. “Cantik yah?” Siska bertanya saat aku berusaha menjangkau buku yang terselip di bawah sofa. “Hah?” Aku masih tidak sadar dengan pertanyaannya.
“Itu lho, perempuan yang tadi.” Siska duduk di sampingku.
“Oh, itu. Yah, lumayanlah!” Aku tidak biasa dengan pertanyaan seperti ini.
“Dah jujur aja, Mas,” goda Siska sambil tersenyum-senyum.
“Hhmmm.. kamu kenal dia, Sis?”
“Nggak juga, tapi hampir seminggu ini dia datang terus tiap sore. Aku pikir dia sedikit aneh. Dia hanya datang, memutar di rak-rak itu dan pergi. Tidak pernah membeli ataupun memesan minuman. Jarang ada pelanggan seperti itu.” Siska menjelaskan sambil berkutat dengan BB-nya.
“Aneh yah, tapi kalau tidak pernah membeli itu namanya bukan pelanggan, tapi hanya pengunjung,” sahutku.
“Iya yah, lama-lama tempat ini bukan lagi toko buku, tapi museum!” Siska beranjak pergi dan meninggalkan BB-nya di atas meja.
Aku biasanya bisa berlama-lama di tempat ini, namun tidak hari ini. Setelah melihat pemandangan aneh tadi perasaanku menjadi tidak enak, dada ini terasa sesak. Aku habiskan minumanku dalam sekali teguk dan melangkah keluar. Aku melihat Siska sedang menggeledah isi tas dan laci meja kasir seperti mencari sesuatu, sambil lalu aku berkata padanya: “barang yang kamu cari ada diatas mejaku tadi.”
“Oh ya…” Siska berlari kecil dan mencium BB-nya. Ini pemandangan yang wajar untuk zaman ini. Di mana sebuah barang kecil yang telah berubah menjadi barang pokok penunjang kehidupan. Membuatku miris.
Ternyata pulang ke kamar yang kusam ini tidak membuat perasaanku lebih baik. Kubanting pintu kamar mandi dan terkejut melihat bayanganku sendiri. Kulihat diriku di cermin. Masih seperti dulu: kurus, berjerawat, mataku cekung dan rambut berminyak yang tidak pernah disisir. Kutatap mataku sendiri di cermin. “Ini mata yang kosong” pikirku. Pantas saja dia menyuruhku diam. Tidak ada kata yang berguna akan keluar dari orang yang pandangannya kosong seperti ini.
Besoknya aku kembali ke toko buku itu. Bukan karena tidak ada kerjaan, tapi lebih karena penasaran oleh perempuan yang kutemui kemarin.  Aku berharap dia datang lagi hari ini. Dan ternyata memang benar, saat kumasuki ruangan itu dia telah duduk di tempat aku biasa duduk, di sofa biru di pojok kanan, tepat di sebelah jendela besar yang menghadap ke halaman belakang toko buku ini. Dia menatapku dan menggeser posisi duduknya ke ujung sofa seakan memberi ruang untukku agar duduk di sebelahnya. Aku tidak terlalu yakin dengan isyarat yang dia berikan sampai dia mengangguk kecil dan tersenyum. Aku pun menghampirinya.
“Hai!” Sapaku sambil duduk dengan canggung di ujung sofa. Namun dia tidak menjawab. Dia hanya manatapku dengan dalam.
“Aku biasa duduk di sofa ini. Dulu aku punya sofa persis seperti ini di rumahku,” aku menerangkan padanya. Aku tidak tahu kenapa aku malah membicarakan sofa dan masa kecilku pada orang yang bersikap aneh ini.
“Iya. Ini sofa standar rumahan. Dulu model ini diproduksi oleh hampir semua produsen mebel,” dia berkata dengan santai seolah-olah aku dan dia adalah teman lama.
“Kamu keliatannya tahu banyak tentang sofa. Apakah kamu sales mebel atau pemerhati sofa?” aku bukan orang yang serius. Tapi aku juga tidak pintar dalam membuat guyonan. Aku merasa bodoh sekali.
“Oh tidak, aku bukan sales mebel. Tapi aku sadar kamu punya banyak kenangan dengan sofa-sofa seperti ini. Iya kan, Gen?” dia berkata sambil mengaduk-ngaduk tehnya dengan sedotan.
Aku terkejut setengah mati. Darimana dia bisa tahu namaku. Dia bahkan tahu bahwa sofa inilah yang membuatku betah dan selalu datang ke tempat ini.
“Hmm.. seperti kamu masih belum sadar yah? Kamu keliatan terkejut sekali dengan apa yang aku ketahui tentang dirimu.” Dia sadar dengan keterkejutanku dan dia memperbaiki posisi duduknya dan kembali berkata: “Gen, kamu pasti bertanya siapa aku. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya kepingan kecil dari masa lalumu, dan aku sengaja datang ke tempat ini setiap hari hanya karena ingin bertemu denganmu.”
“Kamu siapa? Kenapa kamu bisa tahu aku suka datang ke tempat ini?” Aku berusaha tenang dan mengumpul semua hal dari masa lalu yang bisa menghubungkan aku dengan perempuan ini.
“Kamu tidak semakin cerdas yah. Sangat gampang menemukanmu, Gen!” Dia berkata sambil tertawa ringan.
“Iya, aku sadar dalam beberapa hal aku ini sangat bodoh. Jadi, kenapa kamu bisa tahu aku akan datang ke sini?”
“Toko buku yang sepi, teh hijau hangat, dan sofa biru ini, semua hal ini adalah petunjuk yang jelas, Gen.” Dia menolehkan pandangannya mengitari seolah-olah diriku tercermin bersama tempat ini.
“Jadi, kamu siapa? Aku tidak ingat pernah kenal dengan kamu!” Dan memang benar, toko buku dan teh hijau adalah kesukaanku, namun sofa biru, tidak ada yang tahu dengan hal itu. Aku pasti pernah mengenalnya, tapi aku tidak tahu kapan dan di mana.
“Kamu kelihatan sangat kosong dan bingung, Gen.” Dia berdiri dan merangkul tasnya.
“Maksudmu?”
“Kamu tahu maksudku.” Dia melangkah mengitari sofa dan melangkah keluar.
“Hei.. kamu meninggalkan sesuatu di sini!” Aku bangkit dan menjijing sebuah tas kertas yang ia tinggalkan di sebelah meja.
“Aku tidak meninggalkan apa-apa. Itu milik kamu!” Sebuah senyum tipis mengakhiri katanya tersebut. Dia melangkah pergi
Aku memeriksa isi tas kertas ini dan ternyata berisi sebuah bingkisan dan sepucuk surat dengan amplop hijau bergambarkan burung kakaktua. Aku tidak suka dengan misteri dan hal-hal yang tidak aku mengerti. Namun begitulah aku sekarang, di sini sendiri dengan sebuah bingkisan, surat dan berjuta pertanyaan.
Aku kembali duduk. Aku buka bingkisan itu dengan setengah hati. Ternyata isinya sebuah buku. Winnie The Pooh. Aku tidak mengerti maksudnya apa. Apa hubungan masa laluku dengan buku anak-anak ini? Semakin lama, semua ini makin membuatku kesal. Jadi aku baca sedikit buku ini. Tidak ada yang istimewa, hanya cerita anak-anak dengan beruang madu sebagai tokohnya. Aku lempar buku itu ke dalam ranselku.
Dengan perasaan masih kacau, aku membuka surat itu, dengan harapan mungkin isi suratnya adalah sebuah kebenaran. Sejak kemarin aku merasa dipercundangi dan dibodohi. Ini sungguh tidak adil! Seseorang memiliki potongan dari masa laluku, dan aku tidak tahu sedikit pun tentang dia. Masa laluku seperti sebuah buku. Siapapun bisa membacanya. Di surat itu tertulis:
Hai Gen, 
Aku baru bangun tidur saat menulis ini dan semalam aku bermimpi tentangmu, bersama beruang Pooh kita bermain dihutan, mimpi yang menyenangkan.Mungkin karena kemarin aku berhasil menemukanmu di toko buku itu. Aku sengaja pergi saat tatapan kita bertemu dan aku tidak mau mendengar suaramu. Aku takut kehilangan kenangan tentang suara kecilmu dulu. Maaf jika aku menyuruhmu untuk diam.
Sore ini aku putuskan ke toko buku itu lagi, aku yakin disana aku akan bertemu denganmu lagi. Aku yakin, aku tahu siapa kamu.
Nb: kamu kurusan.
Dia melampirkan sebuah alamat e-mail, dan sebuah ungkapan dari buku Winnie The Pooh “You can’t stay in your corner of the Forest waiting for others to come to you. You have to go to them sometimes.”
Satu hal yang pasti, dia adalah teman masa kecilku. Dan dari ungkapan tersebut dia ingin aku menyuratinya ke alamat itu. Aku bingung. Apakah aku harus membalas atau tidak. Aku tidak tahu.
Kebingungan itu sesuatu yang baik, karena dengan bingung berarti kita menghadapi sebuah keraguan. Keraguan akan membuat kita bertanya, dan siapa yang bertanya pasti akan mendapatkan jawabannya. Namun kali ini aku takut akan jawaban yang akan aku terima.
Entah kenapa saat ini aku merasa sangat takut, aku tidak takut bertemu dengannya, namun aku takut berhadapan dengan masa laluku. Ini perasaan yang aneh, masa lalu yang seharusnya menjadi kenangan yang indah dan penuh kehangatan tiba-tiba saja menjadi sebuah monster di masa depan. Dan sekarang aku harus berhadapan dengannya.
Setiba di rumah, aku langsung menyalakan laptopku. Aku harus menghadapi semua ini. Aku masukkan alamat e-mailnya dan menulis: “Terima kasih bukunya, tapi satu hal aku tidak suka beruang madu. bahkan aku takut dengan mereka”. Aku tekan tombol ‘kirim’ dengan judul surat “aku tidak ingat kamu”.
Tidak lama berselang sebuah email baru masuk, dia membalas emailku.
“Tentu saja kamu tidak ingat aku, aku adalah kepingan ingatan yang telah kamu hilangkan. Aku pun tahu kamu tidak suka beruang, dari dulu memang begitu,kan? Aku ingat dulu kita sering bermain disofa biru dirumahmu, kita berlomba menghabiskan es krim atau cemilan yang dibuat oleh ibumu.Apakah ibumu masih sering membuat cemilan seperti dulu? Aku harap iya. Ibumu sangat berbakat didapur. Aku dulu berharap aku bisa punya ibu seperti dia, namun kadang Tuhan sering berkata lain. Nasib kita berbeda”.
Ini membuatku lebih takut, aku membalas e-mailnya.
“Bagaimana mungkin ingatan aku hilangkan?Aku mungkin lupa, tapi tak mungkin hilang, Ingatan itu adalah diriku dan milikku. Kamu mungkin telah mencurinya.Katakan saja dengan jelas dan singkat, siapa dirimu?”
Aku menunggu balasannya dengan perasaan cemas dan takut. Mungkin saja benar, dia telah mencuri sebagian dari masa kecilku.
Dia membalas lagi. “Aku adalah potongan dari dirimu yang hilang, Gen”
Dengan perasaan bingung aku membalas. “Jika memang begitu, kembalikan potongan itu dan buat diriku lengkap kembali”
Karena haus aku beranjak ke dapur. Kuambil beberapa kaleng bir dari kulkas, sisa dari nonton bola beberapa hari yang lalu. Aku meneguknya dengan tergesa-gesa, sehingga aku tersedak. Aku kembali ke mengecek e-mailku dan ternyata dia sudah membalas lagi.
“Aku akan senang bisa membuat diri lengkap lagi, Gen. Namun dengan sebuah syarat.”
“Syaratnya apa?” Aku balas dengan singkat. Sebuah perasaan panas dan menggelora menerjang tubuhku. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan. Cinta. Kenapa aku merasa jatuh cinta pada saat seperti ini. Ini mustahil pikirku. Hati dan pikiranku sudah tidak lagi sejalan. Aku sudah gila.
“Kriingg.. krinngg”.. Teleponku berdering. Aku terkejut. Aku biarkan telepon itu berdering beberapa saat, aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa-siapa. Jadi aku biarkan saja. Aku kembali menatap kosong ke layar laptopku, namun sekali lagi telepon berdering. Dengan perasaan dongkol aku angkat telpon tersebut.
“Ya?” Aku berharap kali ini panggilan salah sambung.
“Sewot banget, Gen?” Ternyata perempuan itu.
“Kok kamu bisa tahu nomortelponku?” Aku masih shock.
“Kamu lupa ya?Aku ini bagian dari diri kamu, aku tahu semua hal tentang kamu”Dia bicara dengan ringan.
“Baiklah.Jadi apa syaratnya agar diriku bisa lengkap lagi?”
“Kamu harus hidup bersamaku? Mau?”
“Hah? Maksudmu…..” Aku kaget dengan apa yang baru aku dengar, ini tidak mungkin nyata.
“Gimana, Gen?”
“Kamu serius?”
“Iya.Kita adalah sebuah kesatuan yang terpotong oleh masa lalu.Potongan itu harus disatukan lagi.Jika kamu sependapat denganku, hampiri aku,” dia berkata dengan sangat tenang.
“Tapi aku tidak tahu kamu ada dimana.”
“Dengarkan nyanyian angin dengan hatimu.” Dia menutup telponnya.
Untuk beberapa saat aku termenung. Aku mencoba meraba semua hal yang terjadi dalam dua hari ini. Dan untuk pertama kalinya semua keraguanku dan kebingunganku hilang tidak berjejak. Aku melangkah keluar rumah. Aku tidak tahu kenapa akan pergi. Namun satu hal yang pasti aku sadar tujuan dari langkah ini.

Ilustrasi: musthavemenus.com
————————————————————
Cerpen ini juga dimuat di VHRmedia :

Sofa Biru dan Sepotong Ingatan 


Sofa Biru dan Sepotong Ingatan (Bag Ke-2, Tamat)

Categories
GRI

Laporan Pandangan Mata Kopdar ke-3 GRI bandung dengan Tema “Tepang Sono Goodreaders Bandung”

Ehheem.. cek cek.. 1 2 3.. ini hanya sekedar pendangan mata seorang anak manusia yang masih mengantuk dan kecewa dengan hasil imbang Inggris semalam, jadi beberapa fakta yang terjadi beberapa hari yang lalu mungkin sedikit ter-distorsi, harap dimaklumi. Mari kita mulai.

Kisah ini berawal dari pertengahan april yang lalu, saat saya mendapat kabar bahwa Kopdar GRI serempak se-Indonesia bulan Juni ini. Ini kabar terbaik yang saya terima sejak awal tahun, ini adalah kegiatan tahunan yang paling ditunggu Goodreaders Bandung, sebuah hari dimana semua barudak Bandung yang berdomisili disini, ataupun diluar kota, ataupun diluar jawa saling bertatap muka, menggila dengan tidak jelas dan.. dan kegiatan OOT lainnya tentu saja 😛

12 Juni 2010.

Pagi itu saya terbangun dengan tidak terlalu yakin. Saya merasa ada yang aneh dengan hari ini, lima menit pertama saya habiskan dengan merenung kenapa saya harus bangun pada hari sabtu yang cerah ini. Ini aneh, tidak ada yang bangun pada hari sabtu pukul 08.00 pagi, bahkan bocah-bocah rumahan sekalipun masih meneteskan air liurnya pada pukul ini. Kemudian sebuah pikiran dari alam bawah sadar melintas kedalam otak saya yang kecil, saya tersentak “a*****… TELAT…!!!!”

Rasa kantuk, dinginnya air bak mandi dan perut yang lapar tidak terasa lagi. Semua darah terpompa dengan cepat ke paru-paru dan otak. Hari ini adalah hari itu. Saya sangat bergairah, bersemangat dan kesal, kenapa pada hari sepenting ini saya bangun terlambat. Saya harus sudah ada di Hiros Futsal pukul 08.30. Untuk pertama kalinya GRI Bandung mengadakan futsal sebagai awalan acara Kopda. Dan saya harus bergegas, lupakan sepatu, lupakan keramas, lupakan kopi, lupakan sarapan, saya tidak peduli, hari ini saya Futsal bersama GRI.

Futsal adalah kegiatan pertama dalam Kopdar kali ini. Saya kira ini ide yang jenius, sabtu pagi yang cerah, diawali dengan berlarian diatas rumput sintetik, membakar lemak, berkeringat dan tentu saja menyehatkan. Kita semua harus sehat untuk melalui hari ini. Karena hari ini bertema ”Tepang Sono Goodreaders Bandung” hari yang menyenangkan.

Saya datang tepat waktu. Saat itu Aip, Nenangs, Indri dan mas Ibrohim telah berada disana. Tinggal menunggu beberapa orang lagi untuk bisa memulai permainan futsal ala GRI. Akhirnya satu persatu mulai berdatangan, Panda, Imam, teh Fetti, pak A. Gunawan dll. Dan permainan dimulai. Satu yang sangat menarik adalah, saat kita bermain bersama GRI, itu seperti berada digalaksi yang lain, permainan futsal yang tanpa aturan, bermain dengan penuh kebebasan, posisi standar futsal tidak berlaku saat itu. Siapa saja silahkan menggiring dan menendang bola ke gawang mana pun. Ini sangat menarik. Lain kali kita coba lagi yah.. *kedip2-an ama yang ikut futsal”

Setelah menyehatkan diri dengan futsal kami semua beranjak ke Toko Buku BEEBOOK kepunyaan mas Alwi. Toko buku yang baru berumur sebulan yang berada tidak jauh dari tempat futsal ini membangkitkan penyakit kambuhan semua Goodreaders. Kalap. Tentu saja, siapa sih yang tidak? Buku dengan diskon 40%. Tidak ada yang akan berani menolak tawaran ini. Bahkan ada seorang akang-akang yang katanya tidak akan beli namun pada akhirnya keluar toko dengan 2 bungkusan besar penuh dengan buku 😛 *piss kang*

Kamipun berangkat menuju Remo (Resep Moyang). Kafe & Resto yang akan menjadi saksi Kopdar kali ini. Tempat yang keliatan biasa-biasa ini beberapa saat lagi akan menjadi sangat luar biasa. Namun sebelum itu seperti pepatah klub penguyah yang saya bikin-bikin sendiri “Kopdar tanpa makanan enak seperti buku dengan terjemahan yang buruk” saya juga tidak ngerti maksudnya apa, ya begitulah. Buku menu menjadi rebutan dan pelayanpun dibuat bingung oleh bermacam-macannya pesanan.

Perut yang terisi dan dahaga yang terpuaskan menjadi acara pembuka, selanjutnya perkenalan.satu persatu yang hadir berdiri dan memperkenalkan diri serta wawancara pendek untuk beberapa orang, beberapa pertanyaanpun terlontar seperti “lagi dekat dengan siapa?” atau “ikut klub apa? Jadulers, kolor tiis atau trio macam” tentu saja gosip-gosip kecil pun ada disini 😛

Ini daftar hadir Kopdar GRI ke-3 Bandung “Tepang Sono Goodreaders Bandung” :

1

Abdyka Wirmon

2

Panda Surya

3

Aip

4

A. Gunawan A

5

Indah T Lesatari

6

Ayunina R.F

7

Neng Feti

8

Susi

9

Tio

10

Erie SF

11

Iman Sunandar

12

Ibrohim

13

Alwi

14

Sabila Warnada

15

Bulan Tresna

16

Indri

17

ayu yudha

18

Buzenk

19

mute

20

Nanny

21

nenangs

22

D. Wulan Sari

23

Felicia Lasmana

24

Sianawati Sunarto

25

yudi

26

Femmy syahrani

26 orang yang beruntung yang bisa merasakan kegembiraan dan kehangatan GRI Bandung.

Oh ya, selagi memperkenalkan diri, saya menyebarkan sebuah angket sederhana untuk mengukur kinerja GRI Bandung. Dan dari 26 sempel kurang lebih beginilah hasilnya angket tersebut:

Saya tidak tahu berapa persen tingkat akurasinya, namun saya harapkan nilai-nilai diatas bisa menjadi sebuah akuran sederhana atas keadaan dan kinerja komunitas ini umumnya dan dibandung khususnya. Terima kasih buat yang telah berpartisipasi 😀

Sebuah momen yang penting adalah saat Ibu tio melangkah masuk bersama tio. Kedua tangannya menggendong sebuah kue. Chess cake yang bertulisankan “ Goodreads Indonesia, 3 Tahun” dan sebuah lilin merah berbentuk angka 3 juga. Kamipun bersorak seperti bocah dipesta ulang tahun. Lilin diletakkan diatas kue, puncak sumbupun dibakar, lagu selamat ulang tahun dielu-elukan. Tio sebagai anggota termuda dan sekaligus bentuk dari regenerasi mendapat sebuah kehormatan untuk meniup lilin dan mendoakan harapan bersama untuk komunitas ini. Lilin telah padam, harapan telah diucapakan. Mari melangkah bersama dan semoga tuhan berkenan.  

Oh ya selanjutnya its time for quiz. Mas Ibrohim yang datang mewakili Haikal, telah mensponsori acara kuis kali ini. Yaitu menterjemahkan  Extremely Loud and Incredibly Close karya Jonathan Safran Foer ke bahasa sunda. Saya memang tidak bisa bahasa sunda, tapi apa susahnya? Hhmmm.. kuis ini diikuti oleh delapan peserta, Ibu Tio, Bulan, Felicia, Teh Indah, Teh Fetti. Bella, Indri dan Aip dan yang menjadi juri tidak lain tidak bukan Imam dan Erie. Dan untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa hal itu tidaklah mudah, beberapa peserta beberapa kali terbata-bata dan ini tidak jarang mengucapkan kata yang salah atau aneh. Saya juga tidak tahu, tapi semua orang nyaris tertawa terpingkal-pingkal olehnya. Dan sayapun ikut tertawa oleh hal yang saya tidak tahu. Tapi serius acara ini rusuh pisan.  Dan setelah rapat tidak panjang antara juri dan saya diputuskan juaranya adalah:

1.    Ibu tio dengan hadiah: Buku Extremely Loud and Incredibly Close karya Jonathan Safran Foer, The Heike Story karya Eiji Yoshikawa, dan The Earthsea Cycle karya Ursula K. LeGuin.

2.    Teh Fetti: dengan hadiah:  Buku Extremely Loud and Incredibly Close karya Jonathan Safran Foer, dan Live Through This karya Debra Gwartney.

3.    Aip dengan hadiah : Buku Extremely Loud and Incredibly Close karya Jonathan Safran Foer dan Silver Phoenix karya Cindy Pon

Kopdar kali ini Bandung kedatangan tamu istimewa, yaitu A. Gunawan A. seorang peniliti LAPAN dan Penulis buku “kiamat 2012; Omong Kosong!!!” ini adalah buku ke-4nya, dan beliau akan memberikan buku tersebut bagi yang bisa menjawab sebuah pertanyaan ilmiah tentang femonena kiamat 2012. Teh fetti yang menjawab dengan tepat dan mendapatkan buku tersebut plus tanda tangan beliau. Arrgghh.. saya juga mau.. 😛

Selanjutnya kuis bebas, beberapa pertanyaan diberikan bergantian oleh Imam dan Erie, siapa yang bisa jawab mendapat bingkisan buku. Dan tentu saja dengan beberapa alasan tertentu trio macan dari bogor tidak bisa mengikuti kuis ini dan memutuskan untuk ngambek  kepada panita selama 3 bulan. Hohohho.. rugi lho ngambek ama kami 😛

Acara ini ditutup dengan sebuah tradisi GRI yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Yaitu foto bareng. Saat dimana spanduk GRI dibentangkan setinggi dada, semua orang berdiri dibelakang, tangan menggenggam ujung dan sisi atas spanduk, menyeka rambut, tersenyum manis, beberapa tangan membentuk simbol seperti rock devil “\m/” atau jari telunjuk dan jari tengah yang terkangkang membentuk simbol “peace”. Sebuah foto bersama yang untuk mengenang masa yang indah yang dipersatukan oleh sebuah komunitas.  Goodreads Indonesia.

Ucapan terima kasih yang sangat banyak kepada:

1.    Imam “thesunan” sebagai ketua panitia dadakan yang telah rela secara fisik, mental, waktu dan materi telah banyak berkorban untuk Kopdar kali ini, yang selalu mem-pletak saya tiap saya melakukan hal yang salah 😛 hehehe.. piss bro..

2.    Kang erie, sebagai aki-aki penasehat yang selalu kurang tidur dan siap sedia tiap saat dipanggil dan menerima keluh kesah kami.

3.    Kang nenangs yang telah mensurvei beberapa tempat dan bantuan moril lainnya yang pada akhirnya harus sakit selama 2 hari. Main futsal lagi kang 😛

4.    Ditta dari Bentang, terima kasih untuk buku-bukunya

5.    Luqman Matahati, lovestruck.. lovestruck.. 😛

6.    Tiwik, untuk paketnya yang sangat berharga

7.    Mbak Roos, mbak Lita, Mia, Harun dan Amang untuk motivasi yang berkelanjutan.

8.    Terima kasih untuk Haikal dan mas Ibrohim dari Mahda Book, kuisnya seru sekali.

9.    Dan yang terutama, kepada yang telah hadir dan membuat tanggal 12 Juni 2010 menjadi hari yang sangat menyenangkan dan berkesan. Saya sangat senang bisa berada diantara kalian semua. Sekali lagi, terima kasih

10.  Dan yang terakhir, terima kasih kepada Tuhan yang maha menyatukan.

NB: mohon dikoreksi kalo ada yang salah, terlupa, atau apapun. Mohon maaf jika ada. Saya ini hanya manusia biasa yang belum menelan apa-apa dari kemaren sore. 😀 

Categories
5 Stars Reviews

Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perennialis by Frithjof Schuon

Saya tidak peduli penulis itu tua, muda, hidup, mati, ahli, pakar, budayawan, aktivis, ibu rumah tangga atau apaun itu. selama mereka menulis sesuatu yang karya itu telah cukup. sebuah buku adalah seorang anak tanpa orang tua. dia yatim piatu. dan pembacalah orang tua angkatnya, yang akan mengasuh ide dan mengembangkannya menjadi sebuah pemikiran atau tindakan.

sebuah buku yang baik adalah buku yang bertanggung jawab akan isi dan kandungannya. jawaban bukanlah hal yang penting, selama pertanyaan yang diajukan dalamnya merukapan sebuah keraguan dan renungan tentang kebenaran.

seperti itulah buku ini.

saya pernah membaca sebuah buku karya penulis lokal yang mengangkat tema yang sama dengan buku ini. hasilnya nol besar. serius lho. 


saya tidak bermaksud menilai rendah karya anak bangsa, hanya saja penulis lokal yang saya maksud diatas benar-benar parah, isi bukunya hanya saduran-saduran tema filsafat tanpa ada pembahasan, bertanya tanpa esensi pencarian akan makna dan lebih parahnya sang penulis bersangkutan mendapat penghargaan atas karya ‘biasa’-nya itu. yah saya sangat kesal. dan yah benar saya akan menbandingkannya dengan buku yang barusan saya baca ini.

buku ini,

menjawab semua pertanyaan retorikal yang dalam secara sederhana dan menjadikannya mudah dicerna, risetnya matang dan memikat untuk disimak. sederhana, mendalam dan melebar. saya rasa itulah yang dicari semua orang, sebuah penjelasan ringkas, gampang dan masuk akal.

dalam buku ini memaparkan banyak kegelisahan tentang agama, tuhan, manusia, serta kepercayaan modern. setiap paragraf adalah ungkapan-ungkapan penuh makna yang dalam tentang semua permasalahan ini. saya terkejut berkali-kali dan tidak menemukan kejenuhan. kenapa penulis yang namanya sangat sulit saya hapal ini begitu memukau, saya kira mungkin kerena penulis ini ikhlas dan kritis dalam menulis, andai saja banyak penulis bisa lugas seperti ini.

andai saja.

NB: ini bukan review, tapi ungkapan kekesalan saja. harap dimaklumi.




Search Amazon.com for frithjof schuon

Categories
3 stars Reviews

Kafka on the Shore (Labirin Cinta Ibu dan Anak) by Haruki Murakami

Saya bukan orang yang bisa menulis sebuah review dengan indah, tertata, rapih dan jelas. untuk itu jangan buang waktu anda yang berharga untuk membaca ulasan tidak terkait dibawah ini.

mari kita mulai,

saya telah membaca dua buku Murakami sebelumnya Dengarlah Nyanyian Angindan Norwegian Wood dan saya lihat bagaimana Murakami telah belajar banyak dan menjadi penulis surelis yang cerdas, kali ini dalam cerita yang aneh dengan tujuan yang ambigu, banyak yang tidak suka namun saya berkata sebaliknya, “beginilah sebuah buku harus ditulis” ya kan??

Buku ini adalah wadah kesombongan sipenulis, kelihatan sekali Murakami telah banyak membaca tentang tentang mitos yunani dan musik klasik, adaptasi cerita odiepus, dan wacana-wacana kecil tentang karya komposer klasik yang mana saya tidak terlalu mengerti tentang itu.

alur ceritanya sederhana namun dibumbui dengan segala keanehan dan kebebasan penulis dalam menulis alur, timelinenya sedikit berantakan namun bukan itulah inti kisah ini, siapa yang peduli dengan alur kalau percakapan yang dihidangkan dengan gurih terasa nikmat untuk diolah dalam otak homosapien ini. tidak sempurna. inilah buku ini. i love it.

saya pengagum berat murakami, namun terbatasnya kemampuan hanya edisi ini yang bisa saya dapatkan, tidak buruk namun tidak cukup bagus juga. terjemahannya terkesan sangat terburu-buru dan kurang loyal. banyak titik-titik yang membuat saya bosan dan jenuh. saya terpaksa membaca berulang-ulang paragraf deskripsi, analoginya karya ini adalah sebuah mie instans yang diolah ala anak kost, hanya menyedunya dengan air panas.

sampai disini apakah saya membuat kalian bosan?? jika iya, berhenti disini.

saya lanjutkan,

saya sangat mengerti buku ini, pesannya saya terima dengan baik, ke anehannya saya acuhkan, ketimpangannya saya biarkan tetap begitu, idenya saya debatkan dengan agresif. dan saya pikir saya telah dewasa sebagia seorang pembaca. namun ternyata saya salah.

Murakami memainkan moral saya sebagia seorang anak -anak dari orangtua- . saya merasa jijik menatapi fenomena yang diangkat disini.

Murakami mengolok-olok saya sebagai mantan remaja yang pernah juga lari dari rumah. saya melihat diri saya yang dulu seperti seorang yang tolol.

Murakami menghina pemahaman yang telah saya pegang kurang lebih 15 tahun ini. saya pikir ini yang namanya pengkhianatan seorang penulis terhadap pembacanya, terutama pembaca yang tergila-gila dengan karyanya. saya dibodohi.

saya sadar akan banyak yang akan marah dan kesal terhadap review ini, jika iya silahkan datangi saya dan bawa buku edisi ingrisnya sekalian, saya ingin pinjam, jika tidak keluhan kalian yang marah tidak akan saya layani. tidak adil memang tapi begitulah hidup. tidak ada yang adil sama seperti buku ini.

oke, saya tidak tahu cara menutup review ini, sekarang pukul 02.30 dini hari. seperti nakata, saya juga butuh tidur panjang.

bye.

NB:
1.Murakami, kalau kau membaca dan mengerti apa yang saya tulis disini jangan berkecil hati, saya tetep menjadi penggagum berat anda. so keep rockin’ Mur. m/
2. jika yang membaca tidak mengerti dengan apa yang saya tulis, sama. saya juga tidak tahu dengan apa yang saya tulis ini.
3. mohon maaf jika ada yang tersinggung.
4. peace 🙂 



Categories
Cuap-Cuap

Sejarah PALSU (Photographer Asal Sumatra)


        PALSU merupakan sebuah komunitas yang berdiri oleh kesamaan ide, asal, hobi dan kecintaan akan photography, pada awalnya dibentuk oleh lima orang mahasiswa Fakultas Komunikasi sebuah universitas dijantung kota Bandung. Kelima orang ini berasal dari Sumatra dan dipersatukan oleh kecintaannya akan photography sehingga tercetuslah ide untuk membentuk sebuah komunitas photographer yang berasal dari Sumatra.
Pada tanggal 25 november 2008, komunitas ini terbentuk dengan diawali membuat Group di situs jejaring social Facebook. waktu terus berjalan dan perlahan-lahan anggota group ini semakin bertambah dan tidak hanya mereka yang berasal dari Sumatra, bahkan dari seluruh Indonesia, terutama Bandung dan Jakarta dan menurut catatan saya ada juga anggota PALSU yang berasal dari France, India dan German.

Kegiatan bulanan PALSU adalah hunting photo dan berkumpul untuk sharing informasi atau hanya untuk duduk-duduk saja. Namun hal ini yang sering menjadi kunci kekuatan komunitas ini, berkumpul bersama dengan teman-teman se-ide dalam sebuah lingkungan yang positif. Keanggotan PALSU sendiri terbuka untuk umun siapapun yang ingin bergabung silahkan mendaftar di website PALSU www.palsu.org, tidak peduli siapa atau dari mana akan disambut dengan hangat dalam komunitas ini.
Seiring tambah besarnya komunitas ini, tujuan bersama yang ingin dicapaipun semakin tinggi, tempat yang awalnya hanya untuk berkumpul-kumpul saja telah menjadi sebuah kendaraan dengan cita-cita yang besar, menjadi sebuah komunitas photography yang melakukan proses pembelajaran, berbagi informasi dan menjadi photographer yang aktif dan handal.




Categories
Cuap-Cuap

Palsu Bedah Photo 24 April 2010


24 April 2010 yang lalu PALSU (Photographer Asal Sumatra) mengadakan event PALSU bedah photo, kegiatan ini bekerja sama dengan Black Coffee Photography dan bertempat di café Black Coffee itu sendiri, kegiatan yang terdiri dari Photo Season, bedah photo dan live music ini berlansung dari jam 10.30 sampai pukul 16.00 dan diikuti oleh 24 anggota yang terdiri dari mahasiswa dan kalangan umum.







Photo season dibagi menjadi dua kegiatan outdoor photo season dan indoor photo season. Tidak lama setelah acara dimulai peserta segera menuju Taman Dago untuk kegiatan outdoor photo season, peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing disertai oleh satu model, Webby dan Alyssa Anjani “gogirl”. Terik panasnya matahari bandung kala itu tidak mengurangi antusias peserta dalam membidik model yang berpose di taman tersebut, pencahayaan dari matahari terpantul melalui deflector yang mengarah langsung ke model membuat photo season ini menjadi sangat menggairahkan, dan setiap peserta dituntut untuk menyerahkan dua photo terbaik mereka yang nantinya akan dilombakan menjadi photo terbaik dalam kegiatan kali ini.

Matahari semakin garang dan peserta kembali memasuki Black coffee untuk kegiatan selanjutnya. Bedah photo kali ini dibimbing oleh Photographer muda yang telah sangat berpengalaman Allan Arthur dan Ulil Azmi. Sesi pertama oleh Allan Arthur, juara ketiga Lomba Foto Pacu Jawi ini memperkenalkan diri dan mulai membicarakan teknik photography sambil memperlihatkan slide show portofolio karya pembicara sendiri. Allan Arthur menjelaskan beberapa teknik dan tips-tips dalam pengambilan outdoor photo, dan menjawab beberapa pertanyaan peserta tentang permasalahan yang sering terjadi dalam proses pengambilan gambar.



Istirahat. Itu yang dibutuhkan semua orang setelah sesi pertama bedah photo. Jam menunjukan pukul 12.45, teriknya hari semakin menjadi-jadi dan keringat mulai membasahi semua orang, tak terkecuali peserta dan pembicara. Kesibukan terjadi didapur Black coffee, semua perut yang kosong dan tenggerokan yang dahaga menuntut akan santapan lezat dan minuman dingin yang bisa menggantikan tenaga yang hilang dan siap untuk sesi-sesi acara berikutnya.



Apa jadinya sebuah event tanpa adanya hiburan yang bisa melemaskan otot-otot yang tegang dan memanjakan telinga dengan cara yang benar. Untuk itu pada setiap sela-sela acara, PALSU mengundang tiga band untuk menghibur peserta sembari beristirahat. Dimonique, Aisitheru dan My Face secara bergantian menampilkan permaian yang apik dan segar pada setiap pergantian acara.


Ulil Azmi pembimbing pada bedah photo sesi kedua, photographer yang pernah menjadi photographer senior majalah Halobandung ini, menjelaskan tentang Indoor photography, permasalahan, teknik, dan skill apa saja yang menjadi dasar pada photo model. Seperti pembicara pertama pemuda yang biasa dipanggil Ulil ini memperlihatkan portofolia hasil jepretan dia sendiri, dan ini membuat peserta sangat bersemangat, hal ini terbukti dari banyaknya pertanyaan yang diajukan dan dengan tenang pembicara menjawab pertanyaan tersebut satu per satu.


Photo season Indoor. Kali ini peserta dibawa kedalam Black coffee yang bagian belakangnya telah disulap menjadi sebuah studio photo sekaligus telah menjadi sebuah gallery photo dimana pameran photo PALSU berlangsung selama satu bulan. Model yang telah berganti kostum berdiri didepan background putih dan berpose dengan anggun dan professional. Kedua pembicara Allan dan Ulil mensimulasikan apa yang telah mereka bicarakan, dan para peserta seperti orang yang kesemutan tidak sabar ingin mencoba apa yang telah mereka pelajari. Photo season Indoor berjalan cukup lama, setiap peserta menpraktekan teknik-teknik photo model yang telah mereka ketahui secara bergantian tentunya.


Selagi peserta bergantian melakukan photo model distudio, kedua pembicara sibuk menilai photo-photo peserta dari photo season outdoor yang telah dikumpulkan dari awal tadi. Setelah rapat singkat antara kedua pembicara akhirnya ditentukan 6 photo terbaik dari keseluruhan photo. Peserta kembali duduk ketempat semula dan pembicara bergantian membahas dan mebedah 6 photo tersebut, menilai, menjelaskan teknik dan keunggulan setiap-setiap photo. Setelah panjang lebar bahasan photo tiba saatnya  menentukan photo mana yang menjadi photo terbaik dengan cara voting dari seluruh peserta dan panitia.


Event ini diakhiri dengan pemberian cendramata kepada pembicara, model dan pihak Black coffee yang disertai juga dengan pemberian piagam secara simbolis kepada juara pertama lomba photo oleh ketua panitia.


Event kali ini berharap menjadi menjadi batu loncatan untuk semua pihak dalam pencapain photo kreatif dan perluasan pengetahuan akan photography sebagai sebuah bentuk seni kontemporer. PALSU yang terbentuk oleh ide-ide tersebut berharap bisa saling membantu dan berjalan bersama demi terwujudnya sebuah komunitas photographer yang aktif dan event ini salah satu perwujudannya. 


Categories
5 Stars Reviews

Kitchen by Banana Yoshimoto

Ini sungguh diluar dugaan, sekali lagi aku dibawa hanyut kedalam arus cerita oleh penulis jepang, Pertama Kobe Abe, kemudian Haruki Murakami dan sekarang Banana Yoshimoto, memang nama yang tidak biasa seperti itu pula karyanya.

Sejak halaman pertama aku sudah sadar buku ini akan membawaku kemana, malayang pelan diatas permukaan dan dipertengahannya aku tenggelamkan sampai dasar. aku bisa melihat semua hal dari dasar ini, semua konflik, dilema dan pikiran yang terombang-ambing mencoba menolak realita namun harus tetap berdiri tegak menggandeng masa lalu dan terus melanggkah kedepan.

Sebenarnya tidak banyak hal yang diajarkan buku ini, dua kisahnya “kitchen” dan “Moonlight Shadow” hanya sebagai pengingat bahwa masa lalu dan apa yang akan terjadi tidak bisa kita hindari, hidup ini terlalu singkat untuk meratapi langkah-langkah yang telah terlewati. teruslah melangkah, tapaki semuanya tanpa penyesalan, lihatlah matahari akan tetap bersinar dan tenggelam disore hari, malam datang dan berganti pagi.  tangisilah kenangan-kenangan indah, karena tiap tetesnya adalah senyum yang tersungging dimasa depan.

Selamat tinggal masa lalu, terima kasih. sekarang izinkan aku tersenyum. 🙂

Categories
5 Stars Reviews

Norwegian Wood by Haruki Murakami

Murakami dengan sangat cerdas menulis buku ini,dan diterjemahkan secara briliant oleh Jonjon Johana. kata demi kata tertata rapi seperti kamar yang baru saja dibereskan dan diberi pengharum ruangan beraroma terapi. Indah, segar dan membetahkan.

Alurnya sederhana dan mengalir pelan seperti sungai yang jernih dan tenang dengan tokoh yang penuh kebimbangan layaknya manusia nyata dan tanpa basa-basi. pergulatan emosi, dialog, dan sex dipaparkan dengan menawan tanpa harus malu serta merasa jorok, dan sungguh sangat jarang ada buku yang bisa lugas seperti ini.
Percayalah..

Mungkin beberapa orang akan bertanya agaknya memberi *5 pada buku ini tidakkah berlebihan? tentu saja tidak. buku ini seperti samudra, tenang dan tidak penuh hiruk-pikuk namun lihatlah lebih dalam, anda akan terkejut betapa begitu banyaknya kehidupan yang bisa tercipta disana.


Categories
5 Stars Reviews

Dengarlah Nyanyian Angin by Haruki Murakami

Semalam saya bermimpi, mimpi tentang pelabuhan, botol-botol bir, seorang wanita dan tangan-tangan yang saling bergenggaman. bukankah ini tahap yang terindah dari seorang manusia? hidup, mencari jawaban atas dunia, berusaha hidup dalam sebuah arus namun tidak ingin hanyut didalamnya.

Dengarkanlah Nyanyian Angin itulah dia. buku tipis yang telah melengkapi minggu ini dengan sempurna, dia hangat bagai tegukan bir, penuh pengertian bagai seorang kekasih yang tidak banyak bicara, dan cukup tipis untuk diselipkan diantara kamus, binder, kertas photo-copian dan tempat pensil dalam tas hitamku yang berumur 8 tahun tanpa harus menyesakkan isinya.


Hear The Wind Sing

Categories
Poems

Kunang-kunang Kecilku

Lightning-bugs-in-a-jar

Lihat disana
gemerlap kecil
bintang yang merendah
terbang kian kemari
kadang menghampiri
kadang bersembunyi
kubuka tanganku dia terbang pelan mendekat
kututup rapat dan dia hilang lagi.

Kumelangkah keluar
bersandar pada pohon tua yang meranggas
menatapimu berputar-putar dipuncak dahan
melayang pelan
menukik tajam
hinggap sebentar
dan terbang lagi.

Kunang-kunang kecilku yang berkelip-kelip
kadang hilang, kadang terang.
indah menawan dan lenyap terbang.

Pancarkan sinar kuningmu di antara daun-daun hijau
terbang dan berbimbingan bersama bintang
karena kalian sama
cantik
indah
dan menentramkan.

Wahai makhluk yang berbahagia
maukah kau mendengarkan kisahku
kisah tentang manusia yang bersabar
hatinya lembut penuh kasih
namun jiwanya terbakar oleh sayang.

Wahai ciptaan yang paling indah
kupuja semua harapan pada hampanya jiwa manusia
dan kini nafasku kian melemah
nadiku tersumbat dan otakku terkapar.

Wahai kunang-kunang yang menguning
sampaikan penghambaaku pada Tuhan
katakan pada-NYA
aku lemah
dan butuh dikuatkan.

Wahai kau yang kini terbang menjauh

Dan..
Ini yang terakhir yang bisa aku katakan

Demi kata-kata yang terucap
Demi langkah yang telah terpijak
Demi rerumputan yang mengakar
Dan demi jiwa yang telah kuserahkan.

Sampaikan mantra cintaku padanya dan-NYA.
.
.
.
.
.
.
.
.dia harus tahu itu.

———————————————————————–
by Abdyka Wirmon on Friday, 13 November 2009 at 03:17

Untuk Putriku yang terbangun.
 Semoga bisa tertidur pulas.