1
|
Abdyka Wirmon
|
2
|
Panda Surya
|
3
|
Aip
|
4
|
A. Gunawan A
|
5
|
Indah T Lesatari
|
6
|
Ayunina R.F
|
7
|
Neng Feti
|
8
|
Susi
|
9
|
Tio
|
10
|
Erie SF
|
11
|
Iman Sunandar
|
12
|
Ibrohim
|
13
|
Alwi
|
14
|
Sabila Warnada
|
15
|
Bulan Tresna
|
16
|
Indri
|
17
|
ayu yudha
|
18
|
Buzenk
|
19
|
mute
|
20
|
Nanny
|
21
|
nenangs
|
22
|
D. Wulan Sari
|
23
|
Felicia Lasmana
|
24
|
Sianawati Sunarto
|
25
|
yudi
|
26
|
Femmy syahrani
|
sebuah buku yang baik adalah buku yang bertanggung jawab akan isi dan kandungannya. jawaban bukanlah hal yang penting, selama pertanyaan yang diajukan dalamnya merukapan sebuah keraguan dan renungan tentang kebenaran.
seperti itulah buku ini.
saya pernah membaca sebuah buku karya penulis lokal yang mengangkat tema yang sama dengan buku ini. hasilnya nol besar. serius lho.
saya tidak bermaksud menilai rendah karya anak bangsa, hanya saja penulis lokal yang saya maksud diatas benar-benar parah, isi bukunya hanya saduran-saduran tema filsafat tanpa ada pembahasan, bertanya tanpa esensi pencarian akan makna dan lebih parahnya sang penulis bersangkutan mendapat penghargaan atas karya ‘biasa’-nya itu. yah saya sangat kesal. dan yah benar saya akan menbandingkannya dengan buku yang barusan saya baca ini.
buku ini,
menjawab semua pertanyaan retorikal yang dalam secara sederhana dan menjadikannya mudah dicerna, risetnya matang dan memikat untuk disimak. sederhana, mendalam dan melebar. saya rasa itulah yang dicari semua orang, sebuah penjelasan ringkas, gampang dan masuk akal.
dalam buku ini memaparkan banyak kegelisahan tentang agama, tuhan, manusia, serta kepercayaan modern. setiap paragraf adalah ungkapan-ungkapan penuh makna yang dalam tentang semua permasalahan ini. saya terkejut berkali-kali dan tidak menemukan kejenuhan. kenapa penulis yang namanya sangat sulit saya hapal ini begitu memukau, saya kira mungkin kerena penulis ini ikhlas dan kritis dalam menulis, andai saja banyak penulis bisa lugas seperti ini.
andai saja.
NB: ini bukan review, tapi ungkapan kekesalan saja. harap dimaklumi.
mari kita mulai,
saya telah membaca dua buku Murakami sebelumnya Dengarlah Nyanyian Angindan Norwegian Wood dan saya lihat bagaimana Murakami telah belajar banyak dan menjadi penulis surelis yang cerdas, kali ini dalam cerita yang aneh dengan tujuan yang ambigu, banyak yang tidak suka namun saya berkata sebaliknya, “beginilah sebuah buku harus ditulis” ya kan??
Buku ini adalah wadah kesombongan sipenulis, kelihatan sekali Murakami telah banyak membaca tentang tentang mitos yunani dan musik klasik, adaptasi cerita odiepus, dan wacana-wacana kecil tentang karya komposer klasik yang mana saya tidak terlalu mengerti tentang itu.
alur ceritanya sederhana namun dibumbui dengan segala keanehan dan kebebasan penulis dalam menulis alur, timelinenya sedikit berantakan namun bukan itulah inti kisah ini, siapa yang peduli dengan alur kalau percakapan yang dihidangkan dengan gurih terasa nikmat untuk diolah dalam otak homosapien ini. tidak sempurna. inilah buku ini. i love it.
saya pengagum berat murakami, namun terbatasnya kemampuan hanya edisi ini yang bisa saya dapatkan, tidak buruk namun tidak cukup bagus juga. terjemahannya terkesan sangat terburu-buru dan kurang loyal. banyak titik-titik yang membuat saya bosan dan jenuh. saya terpaksa membaca berulang-ulang paragraf deskripsi, analoginya karya ini adalah sebuah mie instans yang diolah ala anak kost, hanya menyedunya dengan air panas.
sampai disini apakah saya membuat kalian bosan?? jika iya, berhenti disini.
saya lanjutkan,
saya sangat mengerti buku ini, pesannya saya terima dengan baik, ke anehannya saya acuhkan, ketimpangannya saya biarkan tetap begitu, idenya saya debatkan dengan agresif. dan saya pikir saya telah dewasa sebagia seorang pembaca. namun ternyata saya salah.
Murakami memainkan moral saya sebagia seorang anak -anak dari orangtua- . saya merasa jijik menatapi fenomena yang diangkat disini.
Murakami mengolok-olok saya sebagai mantan remaja yang pernah juga lari dari rumah. saya melihat diri saya yang dulu seperti seorang yang tolol.
Murakami menghina pemahaman yang telah saya pegang kurang lebih 15 tahun ini. saya pikir ini yang namanya pengkhianatan seorang penulis terhadap pembacanya, terutama pembaca yang tergila-gila dengan karyanya. saya dibodohi.
saya sadar akan banyak yang akan marah dan kesal terhadap review ini, jika iya silahkan datangi saya dan bawa buku edisi ingrisnya sekalian, saya ingin pinjam, jika tidak keluhan kalian yang marah tidak akan saya layani. tidak adil memang tapi begitulah hidup. tidak ada yang adil sama seperti buku ini.
oke, saya tidak tahu cara menutup review ini, sekarang pukul 02.30 dini hari. seperti nakata, saya juga butuh tidur panjang.
bye.
NB:
1.Murakami, kalau kau membaca dan mengerti apa yang saya tulis disini jangan berkecil hati, saya tetep menjadi penggagum berat anda. so keep rockin’ Mur. m/
2. jika yang membaca tidak mengerti dengan apa yang saya tulis, sama. saya juga tidak tahu dengan apa yang saya tulis ini.
3. mohon maaf jika ada yang tersinggung.
4. peace 🙂
Palsu Bedah Photo 24 April 2010
Matahari semakin garang dan peserta kembali memasuki Black coffee untuk kegiatan selanjutnya. Bedah photo kali ini dibimbing oleh Photographer muda yang telah sangat berpengalaman Allan Arthur dan Ulil Azmi. Sesi pertama oleh Allan Arthur, juara ketiga Lomba Foto Pacu Jawi ini memperkenalkan diri dan mulai membicarakan teknik photography sambil memperlihatkan slide show portofolio karya pembicara sendiri. Allan Arthur menjelaskan beberapa teknik dan tips-tips dalam pengambilan outdoor photo, dan menjawab beberapa pertanyaan peserta tentang permasalahan yang sering terjadi dalam proses pengambilan gambar.
Ini sungguh diluar dugaan, sekali lagi aku dibawa hanyut kedalam arus cerita oleh penulis jepang, Pertama Kobe Abe, kemudian Haruki Murakami dan sekarang Banana Yoshimoto, memang nama yang tidak biasa seperti itu pula karyanya.
Sejak halaman pertama aku sudah sadar buku ini akan membawaku kemana, malayang pelan diatas permukaan dan dipertengahannya aku tenggelamkan sampai dasar. aku bisa melihat semua hal dari dasar ini, semua konflik, dilema dan pikiran yang terombang-ambing mencoba menolak realita namun harus tetap berdiri tegak menggandeng masa lalu dan terus melanggkah kedepan.
Sebenarnya tidak banyak hal yang diajarkan buku ini, dua kisahnya “kitchen” dan “Moonlight Shadow” hanya sebagai pengingat bahwa masa lalu dan apa yang akan terjadi tidak bisa kita hindari, hidup ini terlalu singkat untuk meratapi langkah-langkah yang telah terlewati. teruslah melangkah, tapaki semuanya tanpa penyesalan, lihatlah matahari akan tetap bersinar dan tenggelam disore hari, malam datang dan berganti pagi. tangisilah kenangan-kenangan indah, karena tiap tetesnya adalah senyum yang tersungging dimasa depan.
Selamat tinggal masa lalu, terima kasih. sekarang izinkan aku tersenyum. 🙂
Murakami dengan sangat cerdas menulis buku ini,dan diterjemahkan secara briliant oleh Jonjon Johana. kata demi kata tertata rapi seperti kamar yang baru saja dibereskan dan diberi pengharum ruangan beraroma terapi. Indah, segar dan membetahkan.
Alurnya sederhana dan mengalir pelan seperti sungai yang jernih dan tenang dengan tokoh yang penuh kebimbangan layaknya manusia nyata dan tanpa basa-basi. pergulatan emosi, dialog, dan sex dipaparkan dengan menawan tanpa harus malu serta merasa jorok, dan sungguh sangat jarang ada buku yang bisa lugas seperti ini.
Percayalah..
Mungkin beberapa orang akan bertanya agaknya memberi *5 pada buku ini tidakkah berlebihan? tentu saja tidak. buku ini seperti samudra, tenang dan tidak penuh hiruk-pikuk namun lihatlah lebih dalam, anda akan terkejut betapa begitu banyaknya kehidupan yang bisa tercipta disana.
Semalam saya bermimpi, mimpi tentang pelabuhan, botol-botol bir, seorang wanita dan tangan-tangan yang saling bergenggaman. bukankah ini tahap yang terindah dari seorang manusia? hidup, mencari jawaban atas dunia, berusaha hidup dalam sebuah arus namun tidak ingin hanyut didalamnya.
Dengarkanlah Nyanyian Angin itulah dia. buku tipis yang telah melengkapi minggu ini dengan sempurna, dia hangat bagai tegukan bir, penuh pengertian bagai seorang kekasih yang tidak banyak bicara, dan cukup tipis untuk diselipkan diantara kamus, binder, kertas photo-copian dan tempat pensil dalam tas hitamku yang berumur 8 tahun tanpa harus menyesakkan isinya.
Hear The Wind Sing
Kunang-kunang Kecilku
Lihat disana
gemerlap kecil
bintang yang merendah
terbang kian kemari
kadang menghampiri
kadang bersembunyi
kubuka tanganku dia terbang pelan mendekat
kututup rapat dan dia hilang lagi.
Kumelangkah keluar
bersandar pada pohon tua yang meranggas
menatapimu berputar-putar dipuncak dahan
melayang pelan
menukik tajam
hinggap sebentar
dan terbang lagi.
Kunang-kunang kecilku yang berkelip-kelip
kadang hilang, kadang terang.
indah menawan dan lenyap terbang.
Pancarkan sinar kuningmu di antara daun-daun hijau
terbang dan berbimbingan bersama bintang
karena kalian sama
cantik
indah
dan menentramkan.
Wahai makhluk yang berbahagia
maukah kau mendengarkan kisahku
kisah tentang manusia yang bersabar
hatinya lembut penuh kasih
namun jiwanya terbakar oleh sayang.
Wahai ciptaan yang paling indah
kupuja semua harapan pada hampanya jiwa manusia
dan kini nafasku kian melemah
nadiku tersumbat dan otakku terkapar.
Wahai kunang-kunang yang menguning
sampaikan penghambaaku pada Tuhan
katakan pada-NYA
aku lemah
dan butuh dikuatkan.
Wahai kau yang kini terbang menjauh
Dan..
Ini yang terakhir yang bisa aku katakan
Demi kata-kata yang terucap
Demi langkah yang telah terpijak
Demi rerumputan yang mengakar
Dan demi jiwa yang telah kuserahkan.
Sampaikan mantra cintaku padanya dan-NYA.
.
.
.
.
.
.
.
.dia harus tahu itu.
———————————————————————–
by Abdyka Wirmon on Friday, 13 November 2009 at 03:17
Untuk Putriku yang terbangun. Semoga bisa tertidur pulas.